Setiap ide memiliki kekuatan mendobrak kemapanan dan menawarkan kebaruan

KAMPUS BERBASIS PESANTREN;

KAMPUS BERBASIS PESANTREN;
Menuju Sebuah Upaya Merekonstruksi Akar Keilmuan Islam

Jogja, dua tahun yang lalu; saya sangat terkejut mendengar sepenggal tandasan dari seorang guru besar sekaligus pimpinan tertinggi sebuah PTAIN ternama di kota Gudeg. Dalam sebuah forum diskusi beliau menegaskan bahwa tanggung jawab yang diemban kampus “hanyalah” sebatas tanggung jawab akademik-ilmiah semata. Kampus tidak ada urusan sama sekali dengan perilaku menyimpang mahaiswa-mahasiswinya ketika mereka berada di luar arena dan aktivitas kampus….!

Ketika itu, dua tahun yang lalu, tidak ada sedikitpun keberatan di benak saya atas pernyataan itu. Mungkin karena sang guru besar memberikan sederet argument yang begitu “kokoh tak tertandingi”, atau mungkin karena iklim akademik di Jogja yang salah satunya ditandai dengan “anti kemapanan”, menolak doktrin, kelaziman dan kewajaran.

Pernyataan itu terlontar sebagai sebuah jawaban atas gugatan masyarakat yang menjumpai kenyataan bahwa perguruan tinggi berbasis agama, khususnya Islam, seakan tidak peduli lagi dengan moralitas anak didiknya. Kasus pergaulan bebas, seks pra nikah, pacaran kebablasan yang kian marak sepertinya sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran atau lebih menterengya “konsekuensi logis” dari kemoderenan. Agama diposisikan sebagai obyek kritisisme akal yang dengan sengaja sudah dipasung oleh paradiga rasionalitas. Fungsi guidance sudah tercabik dari agama dan seperangkat norma yang ada di dalamnya. Agama secara sistematis mulai terpojokkan ketika diposisikan sebagai urusan privat, elu-elu, gua-gua…..lakum dinukum wa liyadin…lana a’maluna wa lakum a’malukum.

Setelah dua tahun berlalu, ketika saya dihadapkan pada sebuah realitas yang senyatanya, ternyata pernyataan itu tidak lebih dari sekedar ego keilmuan dan sama sekali tidak benar. Bayangkan, bagaimana jadinya jika system pendidikan di Perguruan Tinggi sudah tidak mau lagi mengemban tanggung jawab moral pada anak didiknya..! Bayangkan jika para “guru besar” cuek dengan perilaku mahasiswa/i-nya…! Maka yang terjadi adalah “kerusakan berbalut keilmuan, kekafiran berbaju obyketifitas ilmiah….! Sangat mengerikan..

“Tapi, bukankah itu gejala yang mewabah di hampir semua perguruan Tinggi Islam?”

Pertanyaannya kemudian adalah; apakah kita akan terjebak pada pembenaran pola pikir seperti itu? Saya sendiri yakin dengan sepenuhnya, kita sejujurnya memiliki jawaban yang sama: TIDAK…!
Hanya saja untuk mengatakan jawaban itu kita mungkin tidak mampu, malu atau tidak mau. Mungkin karena gengsi dianggap tidak ilmiah, ketinggalan jaman, tradisionalis … atau mungkin karena kita tidak berani dengan konsekuensi jawaban TIDAK itu tadi.

Harus disadari, bahwa ketika tanggungjawab moral itu dibebankan pada perguruan tinggi, yang terbayang selanjutnya adalah betapa beratnya tanggung jawab itu. Tapi okelah…. Itu syah-syah saja.

Namun, ijinkan saya berbagi sedikit pengalaman, atau lebih tepatnya biarkan saya bercerita sedikit, tentang apa yang saya lihat dan saya hadapi saat ini;

Sekarang ini saya mengabdi di sebuah Perguruan Tinggi yang didirikan atas landasan nilai-nilai pesantren; STAIMAFA. Sebuah perguruan tinggi yang dengan kesahajaannya mengusung tekad untuk mengembalikan lagi “ruh Islam” yang kian pudar. Banyak hal unik di perguruan Tinggi tersebut; misalnya, jargon yang diusung adalah: TERBUKA UNTUK SIAPA SAJA dan KAMPUS BERBASIS PESANTREN.

Akan banyak pertanyaan bagaimana mungkin dua jargon itu; Bagaimana bisa kampus berbasis pesantren terbuka untuk siapa saja? apa dan bagaimana bentuk kampus berbasis pesantren? Apa nilai-nilai kepesantrenan yang dapat dijadikan sebagai landasan keilmuan kampus? Dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan itu juga yang sempat menggelitik benak saya, sebelum akhirnya sebuah jawaban yang begitu jelas terlontar dari bibir hadratusy syaikh Sahal Mahfudz. Ringkasnya saya bahasakan ulang demikian:

“Kampus berbasis pesantren jangan pernah samakan dengan wajah paling luar pondok pesantren yang biasanya kumuh, tidak teratur, malas, tradisional, kolot dan sebutan-sebutan lain yang tidak nyaman didengar. Basis pesantren di sini adalah nilai-nilai luhur yang menjadi ruh terdalam dari pesantren. Paling tidak, ada tiga nilai luhur pesantren yang dimaksud; 1) tradisi akademik; 2) tradisi riset dan 3) tradisi pengabdian masyarakat.”

Beliau mencontohkan, bahwa di pesantren salaf sekalipun sudah sejak lama mengenal bahsul masail dan kajian kitab-kitab klasik dari berbagai cabang ilmu agama, jauh sebelum muncul system pendidikan modern. Tradisi itu begitu kentalnya dan sudah menjadi cirri khas pesantren. Apa lagi namanya kalau bukan tradisi akademik ilmiah? Pesaantren juga mengenal berbagai metode ilmiah terapan yang langsung bersinggungan dengan realitas social. Sebagai contoh metode istiqra’ yang dikembangkan imam syafii adalah bukti sahih bahwa pesantren sudah terbiasa dengan tradisi riset. Bagaimana dengan pengabdian pada masyarakat? Jauh sebelum Perguruan Tinggi mendengungkan Tri Bakti, pesantren telah memiliki akar tradisi pengabdian pada mayarakat yang sangat kokoh dan lebih nyata. Ketika kampus hanya mampu menterjemahkan pengabdian dengan sekedar “KKN”, pesantren sudah sejak lama menerjunkan para santrinya untuk berdakwah dan membangun akidah, moral bahkan ekonomi masyarakat di manapu berada, dari pelosok pedalaman hingga ke tengah kota.

Penjelasan di atas kiranya cukuplah sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiran saya. Tiga nilai kepesantrenan di atas jauh melampaui Tri Dharma Bakti Perguruan Tinggi. Bahkan selain ketiganya, masih banyak nilai luhur yang dimiliki pesantren. Menurut saya salah satunya yang paling penting adalah tradisi “etika praktis”. Pesantren tidak hanya mengajari santri-santrinya untuk membaca kitab-kitab akhlak, tetapi sekaligus mendorong dan mengharuskan secara sistematis agar akhlak tersebut benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk urusan yang paling kecil. Belum lagi nilai aqidah yang tertanam dengan kuat di pesantren. Tidak mustahil jika kesemua itu diterapkan dengan benar akan melahirkan “insan kamil”.
Di atas timbunan nilai-nilai luhur itulah STAIMAFA dibangun dan didirikan. Simak lagi, tiga program studi yang dibuka sangat relelevan dengan kondisi kekinian kebutuhan masyarakat; Prodi Perbankan Syari’ah, Prodi Pengembangan Masyarakat Islam dan Prodi Pendidikan Bahasa Arab.

Dalam hati saya selalu meyakini; inilah bakal kampus Islam masa depan, yang tidak hanya menjadikan anak didiknya cerdas, kritis dan kreatif. Tetapi juga memberikan bekal skill dan wawasan yang memadai untuk berkompetisi di era global seperti sekarang ini. Semoga Allah memberkahi. Amin.

STAIMAFA
Jl. Pati-Tayu KM. 18 Waturoyo Margoyoso Pati Jawa Tengah 59154 Telp. 0295 5501999, fax. (0295) 4150172; email: staimafa@yahoo.com

16 tanggapan untuk “KAMPUS BERBASIS PESANTREN;”

  1. Sutiknyo, S.FIL, i Avatar
    Sutiknyo, S.FIL, i

    Saya lulusan UIN Jogjakarta ambil jurusan aqidah fisafat, Aliyah saya di Al-Hikmah dan saya asli Trangkil-Pati dan sangat mengharapkan sekali bisa mengabdi di STAIMAFA, besar harapan saya untuk menyumbangkan dan mengabdikan ilmu saya, terimakasih.

  2. kangdim Avatar
    kangdim

    Terimakasih atas niat baiknya mas Sutiknyo. Sebagai ampus baru kami masih sangat membutuhkan tenaga2 yang rela berjihad di jalan Allah demi mencapai cita2 bersama. Nasyrul ilmi. Silahka datang berkunjng ke tempat kami, semoga terjalin silaturrahmi yang saling menguntungkan.

  3. Ahmad Ulin Na'im Avatar
    Ahmad Ulin Na’im

    Saya salah satu mahasiswa di STAI Mathali’ul Falah, kampus mewah (mepet sawah) tapi saya yakin, kampus ini juga mergo (mepet surgo) amiin..
    Saya bahagia dapat mengembangkan ilmu di sana. Saya juga sangat bangga punya dosen seperti pak dimyati, beliau salah seorang muara ilmu di STAI Mathali’ul Falah. Terimakasih Pak Dim. . .

  4. Jalel Avatar
    Jalel

    Saya sangat yakin.. Dr sini akan lahir sinar yg mampu menerangi desa2 kami, tuk menjadi kota berpendidikan dan negara sangat berkembang dulu ya… (Btw kpn kita ada demo sprt yg laen ya..he..he..)

  5. kangdim Avatar
    kangdim

    Jangan cuma yakin. belajar yang bener !

  6. sidiq Avatar
    sidiq

    dulu saya sangat alergi pada sesuatu hal yang tidak cocok dengan tuntunan Islam, tapi apa daya saya tidak bisa mengingkari realita yang ada, saya harus menerima tanpa mampu untuk menolak kenyataan yang ada. sebagai kampus yang berbasis nilai-nilai pesantren tentu seharusnya STAIMAFA tidak hanya mengurusi urusan intelektual para mahasiswanya tapi juga urusan moral. sampai saat ini saya belum melihat (atau saya yang tidak mengetahuinya) upaya-upaya yang dilakukan oleh STAIMAFA untuk mengurusi masalah moral para mahasiswanya.seandaninya diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah; sejauh ini apa upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah moral mahasiswa? mengapa perturan yang telah ada belum diberlakukan?

  7. nada Avatar
    nada

    ya kita lihat ja pa staimafa bisa merealisasikan basis pesantren yang di usungnya………apa semua itu benar? lihat aja mahasiswanya

  8. nae Avatar
    nae

    Pak Nada, benar memang pertanyaan anda. apakh bnar?
    nampaknya anda dah menemukan satu permasalahan di STAIMAFA, dan akan lebih elegan lagi kalo sampean juga bersedia memberi solusinya. Lagipula bukankah anda bagian di dalamnya juga? ya kan?

  9. kangdim Avatar
    kangdim

    Ini sebuah pilihan; apakah kita rela sekedar menjadi obyek yang pasif mengikuti arus sistem, ataukah di luar lingkaran menjai penonton yang berteriak nyaring seolah2 lebih hebat dari pemain yg jatuh tunggang langgang memperjuangkan harga diri dan cita-cita; atau mungkin menjadi subyek yang dengan segala potensi dan kekurangannya melakukan yang terbaik… sebisa dan sekuat mungkin? Jawablah dengan hati, dengan kejujuran, untuk diri sendiri.

  10. kangdim Avatar
    kangdim

    Ya ya ya ya….!

  11. khoirun ni'mah Avatar
    khoirun ni’mah

    inilah kampus baru pertama kali di kajen,,,,,,,,, subhanallah sungguh mengayemkan dengan lingkungan pesantren dan tidak mau kalah juga dengan kampus lain. siap bersaing? ayo!…………………..

  12. kangdim Avatar
    kangdim

    SIAAAAFFFF………….!!

  13. Mas Dien Avatar
    Mas Dien

    Insya Allah…dengan menjadi bagian dari proses pembelajaran menuju generasi khoiro ummah…saya yakin cita itu segera terealisasi…bahkan kedepan saya yakin nama STAIMAFA berubah menjadi Universitas Islam Mathali’ul Falah (UNISMAFA)…dengan tambahan progdi misal Bhs.Inggris dan Akuntansi Syariah…amien ya robbal alamien…Menjadi bagian dari STAIMAFA membuat saya trenyuh dan takjub …bahwa di zaman sekarang ternyata masih ada perjuangan idealisme santun dan berpekerti seperti di STAIMAFA yang kampusnya sangat teduh dan sejuk….selamat Kang Dim.

  14. muhammad asrofi Avatar
    muhammad asrofi

    q yakin bisa bersaing dengan yang lain meskipun baru, dan meskipun q bukan mahasiswa situ tapi saya sangant mengagumi .

  15. dyah Avatar
    dyah

    Assalamu’alaikum..
    sebagai warga pati, mendukung banget tuh pendirian staimafa. sekedar masukan paja… promosinya lebih diusahain donk… lebih ok lagi kalo bisa mengangkat mutu pendidikan di pati… tks

  16. ayatul husna Avatar
    ayatul husna

    Sukses ya! !

Terimakasih atas kunjungan dan komentar anda